Ikhlas
juga mengandung arti meniadakan segala penyakit hati, seperti syirik, riya,
munafik, dan takabur dalam ibadah. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang
dilakukan semata-mata karena Allah SWT.
Ungkapan
“semata-mata karena Allah SWT” setidaknya mengandung tiga dimensi penghambaan,
yaitu niatnya benar karena Allah (Shalih Al-Niyyat), sesuai tata caranya
(Shalih Al-Kaifiyyat), dan tujuannya untuk mencari ridha Allah SWT (Shalih Al-Ghayat),
bukan karena mengharap pujian, sanjungan, apresiasi, dan balasan dari selain
Allah SWT.
Beribadah
secara ikhlas merupakan dambaan setiap Mukmin yang shaleh karena ikhlas
mengantarkannya untuk benar-benar hanya menyembah atau beribadah kepada Allah
SWT, tidak menyekutukan atau menuhankan selain- Nya. “Sembahlah Allah dan
jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun” (QS An-Nisa’ [4]: 36).
Jika
ikhlas sudah menjadi karakter hati dalam beramal ibadah, niscaya keberagamaan
kita menjadi lurus, benar, dan istiqamah (konsisten). (QS Al-Bayyinah [98]: 5).
Selain kunci diterima tidaknya amal ibadah kita oleh Allah SWT, ikhlas juga
membuat “kinerja” kita bermakna dan tidak sia-sia. Kinerja yang bermakna adalah
kinerja yang berangkat dari hati yang ikhlas.
Menurut
Imam Al-Ghazali, peringkat ikhlas itu ada tiga. Pertama, ikhlas awam yakni
ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut kepada
siksa-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya. Kedua, ikhlash khawas,ialah
ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh harapan agar menjadi
hamba yang lebih dekat dengan-Nya dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan
“sesuatu” dari-Nya. Ketiga, ikhlash khawas al-khawas adalah ikhlas dalam
beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang
mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah
Tuhan yang Mahasegala-galanya.
Ikhlas
merupakan komitmen ter ting gi yang seharusnya ditambatkan oleh setiap Mukmin
dalam hatinya: sebuah komitmen tulus ikhlas yang sering dinyatakan dalam doa
iftitah. (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena
Allah Tuhan semesta alam). (QS Al-An’am [6]: 162).
Sifat
dan perbuatan hati yang ikhlas itu merupakan perisai moral yang dapat menjauhkan
diri dari godaan setan (Iblis). Menurut At-Thabari, hamba yang mukhlis adalah
orang-orang Mukmin yang benar-benar tulus sepenuh hati dalam beribadah kepada
Allah, sehingga hati yang murni dan benar-benar tulus itu menjadi tidak mempan
dibujuk rayu dan diprovokasi setan.
Ikhlas
sejatinya juga merupakan “benteng pertahanan” mental spiritual Mukmin dari
kebinasaan atau kesia-siaan dalam menjalani kehidupan. Ibnu Al-Qayyim
Al-Jauziyah berujar, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang meng isi kantong
dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.”
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar